Situasi ekonomi-politik Indonesia yang terkontrol penuh dan tersentralisasi ala Soeharto melalui alat negara dan alat pemerintahannya sudah kita lewati. Secara konseptual seharusnya proses demokrasi politik membawa kesejahteraan melalui kebijakan publik. Sandaran ideologis kebijakan itu sangat jelas yakni Pancasila dan UUD 1945. tidak ada keraguan pencapaian puncak dari kedua urat nadi Indonesia itu adalah kesejahteraan, ketetraman dan kebahagian bagi seluruh bangsa Indonesia.
Namun nyatanya, pasca reformasi dan berganti-ganti pemerintahan hingga sekarang, penjajahan oleh kekuatan dari luar dan dari dalam masih terus terjadi. Akibatnya segelintir orang yang kaya raya sementara sebagian besar rakyat, terutama kaum tani dalam kondisi kemiskinan, pendapatn hanya Rp. 4.375/hari. Mencuatnya perdebatan mengenai neoliberalisme (terlepas dari perdebatan kepentingan politik elitis) tidak dapat dipisahkan dari apa yang dirasakan langsung oleh petani. Rumus umumnya neoliberal adalah Liberalisasi, Privatisasi dan Deregulasi. Intervensi asing begitu kuat melalui organisasi perdagangan dunia (WTO), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) Dana Moneter Internasional (IMF) dan berbagai perusahaan-perusahaan transnasional. Hingga saat ini, kekeuatan asing tersebut masih mengambil peran dalam arah dan skenario berbagai kebijakan untuk kepentingan kekuatan pemodal.
Maka dari itu tidak heran bila, pemerintahan periode 2004-2009 tidak melaksanakan janji-janjinya untuk melakukan pembaruan agraria. Buktinya sejak Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dicanangkan pada tahun 2007 yang merupakan bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) gagal dilaksanakan. Semula, Presiden berjanji untuk meredistribusikan lahan pertanian seluas 9,25 juta hektar untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Namun program tersebut hanya janji kampanye belaka tanpa ada niatan yang sungguh-sungguh untuk mewujudkannnya.
Alih-alih menunaikan janjinya untuk meredistribusikan lahan kepada rakyat, pemerintah lewat Undang-undang Penanaman Modal (UUPM) malah semakin memberikan ruang yang luas dengan meliberalisasikan penggunaan tanah kepada perusahaan-perusahaan besar baik asing maupun dalam negeri. Konsesi tanah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) diberikan secara membabi buta hingga bisa mencapai 95 tahun, padahal pemerintah penjajah Belanda saja hanya memberikan konsesi HGU paling lama 70 tahun. Liberalisasi di bidang pangan dan pertanian semakin menggila dengan keluarnya Inpres No. 5 tahun 2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009. Di dalamnya mengatur juga sejumlah konsesi untuk perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di bidang pangan dengan sekala yang luas (food estate).
Sementara itu, sektor pertanian rakyat semakin rusak. Dalam usaha tani padi, konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian sedikitnya terjadi 10.000 hektar per tahun. Demikian juga dengan kepemilikan lahan para petani yang semakin turun, saat ini kepemilikan lahan oleh petani di Jawa sekitar 0,3 hektar sedangkan di luar jawa 1,19 hektar. Belum lagi konflik agraria yang menyebabkan banyak petani di kriminalisasi dan dipenjarakan. Dalam konflik agraria setidaknya petani kecil yang tergusur dari lahan garapannya yakni sebanyak 24.257 Kepala Keluarga (KK) pada tahun 2007 meningkat jadi 31.267 KK di tahun 2008.
Sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional, seperti jagung hibrida yang mencapai 43 persen dipasok oleh syngenta dan Bayern Corp. Belum lagi anak-anak perusahaan MNC yang berlabel lokal namun semua administrasi keuangannya lari ke luar negeri. Dari studi SPI, tercatat rata-rata 45,4 persen modal petani terutama komoditas padi dihabiskan untuk membeli input luar yang mahal, termasuk benih, pupuk, dan racun. Kalaupun ada program Go-Organic 2010, itu hanya menjadi slogan saja, pencapaiannya nol. Hal ini tercermin dari anggaran yang disediakan hanya kurang dari 4 persen dari total subsidi pupuk, 96 persen dialokasi bagi pupuk yang diproduksi industri kimia. Petani setiap harinya harus menghadapi harga produk pertanian yang tidak pasti, serbuan pangan import, makin banyaknya buruh tani, mahalnya biaya pendidikan, infrastruktur pedesaan yang rusak dan tingginya buruh migrant dari desa.
Situasi Lokal
Sebagai pusat pertumbuhan industri sektor perkebunan, Sumatera Utara sendiri menyumbang 19,8 % dari angka total jumlah penduduk miskin secara nasional. Jumlah penduduk miskin di sumut sebesar 15,66% dari jumlah penduduknya, atau 1.979.702 jiwa (tahun 2006/data BappedaSU & BPS Sumut). Dari jumlah penduduk miskin yang ada di Sumatera Utara, 70 persen tinggal di pedesaan dan berprofesi sebagai petani atau buruh tani.
Sumatera Utara dikenal sebagai propinsi yang mempelopori dan dikenal dengan sektor perkebunannya, 52,68 % penduduknya bekerja di sektor pertanian (Sussenas 2004). Dari 7.168.680 Ha luas propinsi Sumatera Utara, 1.634.723 Ha diantaranya adalah lahan perkebunan dimana separuh darinya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara dan swasta (Dinas Perkebunan Sumut 2003). Sebagai propinsi yang mengunggulkan sektor perkebunannya, serta cikal bakal lahirnya perusahaan perkebunan nasional, Sumut masih menyimpan segudang persoalan yang dihadapi oleh petani.
Sejarah lahirnya perkebunan di Sumatera Utara tidak lepas dari perampasan tanah-tanah milik petani dan masyarakat adat. Pembukaan lahan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sejak masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, setelah kemerdekaan hingga masa orde baru, telah mengusir ribuan keluarga petani dari atas lahannya sendiri. Dari data-data yang dicatat oleh BPN Sumut sendiri saja, di Sumatera Utara setidaknya terdapat 295 kasus konflik dan sengketa pertanahan. Diperkirakan masih banyak konflik pertanahan yang belum tercatat maupunkonflik yang laten.
Ditengah tidak adanya perubahan dari dinamika politik yang ada saat ini, harapan terhadap pemerintah untuk menjalankan Pembaruan Agraria masih jauh. Konflik pertanahan yang dihadapi oleh petani masih berjalan ditempat, tanpa ada penyelesaian. Bahkan tindakan represi yang dihadapi oleh petani semakin meningkat. Ratusan petani di Sumatera Utara yang memperjuangkan hak atas tanahnya yang dirampas, mengalami kriminalisasi, pengusiran dan penahanan dengan alat Undang-undang Perkebunan. Undang-undang nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan tersebut, merupakan undang-undang yang tidak memiliki azas keadilan dan kemanusiaan, yang menjadi alat untuk menindas dan mengusir petani dari lahannya.
Sementara itu, janji-janji pelaksanaan PPAN masih sebatas janji komoditas politik oleh pemerintah. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berjanji akan membagikan 9.25 juta hektar tanah kepada petani (60%) dan kepada investor (40%), masih cenderung setengah hati dengan porsi 40% bagi pemodal. Bahkan, yang dimaksudkan pembagian tanah oleh program PPAN tersebut bukanlah distribusi tanah yang sesungguhnya. Melainkan dilakukan dalam bentuk pensertifikasian tanah masyarakat yang memang telah memiliki tanah.
Disektor pangan dan pembangunan pedesaan, kebijakan yang ada di Sumatera Utara masih belum sepenuhnya berpihak untuk melindungi kesejahteraan petani. Hingga akhir 2008 saja, masih tercatat masuknya beras impor ke Sumut meski propinsi ini dinyatakan surplus beras. Pemerintah seakan menutup mata dan tidak sedikitpun menentang masuknya beras impor yang jelas-jelas menjatuhkan harga jual gabah produksi petani. Berbagai program yang digembar-gemborkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani seperti PUAP, LUEP, KUR dan sebagainya, ternyata tidak berpengaruh besar terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Ketergantungan petani terhadap biaya produksi yang tinggi akibat mesti membeli benih, pupuk kimia dan pestisida kimia, salah satu penyebab terjeratnya petani.
Sebagian besar petani di Sumatera Utara masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk, pestisida dan benih produksi perusahaan-perusahaan Multi National Coorporation. Ketergantungan yang tinggi ini semakin menjerat leher petani ketika harga-harga saprodi tersebut melonjak tajam, bahkan sulit untuk didapatkan. Hal tersebut dialami oleh petani di karo, simalungun, Deli Serdang, Lagkat dan kabupaten lain penghasil pangan di Sumatera Utara.
Secara umum, kondisi petani di Sumut tidak jauh berbeda dengan kondisi secara nasional. Pemerintah ditingkat lokal maupun nasional tidak menunjukkan komitmen yang progressif untuk mengutamakan pembangunan disektor pertanian dan pedesaan. Situasi dan arah kebijakan masih didominasi oleh wacana-wacana elitis yang tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan hidup petani dan rakyat miskin umumnya.
Sikap SPI
Serikat Petani Indonesia memandang kebijakan pemerintah sekarang ini masih jauh dari amanat konstitusi, bahkan lebih ke neoliberal. SPI menyatakan bahwa selama Pembaruan agraria seperti yang dimandatkan dalam konstitusi tak dijalankan maka langkah bagi pembangunan di Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, penangguran, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, dan impor pangan. Oleh sebab itu kita butuh solusi yang berani dan luar biasa, sehingga pelaksanaan Pembaruan Agraria yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33, merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran bagi petani, dan seluruh rakyat Indonesia. Dan agenda ini, tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Atas Pandangan itu, maka Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara (DPW SPI Sumut) pada tanggal 29 Juni 2009 ini, akan melakukan aksi berupa demontrasi, dalam rangka Hari Ulang Tahun SPI ke-11 serta memberikan peringatan dan tuntutan kepada para kandidat Capres/cawapes yang memperebutkan kekuasaan, untuk :
Pertama, Memfokuskan komitmen pada program redistribusi sumber agraria—terutama tanah, air dan benih—kepada petani tak bertanah, petani kecil, komunitas adat lokal dan kaum perempuan disertai dengan kepastian haknya.
Kedua, Membangun perekonomian pedesaan melalui sistem koperasi yang berbasiskan kekayaan lokal dan memaksimalkan peran aktif masyarakat pedesaan. Serta menjadikan perekonomian kerakyatan yang sesuai dengan UUD 1945 (sebelum revisi) sebagai kebijakan dalam pelaksanaan pengembangan perekonomian Indonesia dengan melibatkan seluruh komponen rakyat.
Ketiga, Mengembangkan sistem pangan lokal yang berbasis proses dan produksi oleh petani yang diatur oleh unit-unit keluarga dengan teknologi yang murah dan dapat digunakan oleh rakyat kecil untuk menciptakan kedaulatan pangan
Keempat, mendesak dan menuntut pemerintah untuk menyediakan program-program pelayanan yang mendukung produksi untuk kepentingan dalam negeri. Termasuk jaminan harga dengan memberikan perlindungan pasar dan subsidi yang layak untuk menjamin martabat hidup petani. Pembangunan infrastruktur sebagai penunjang dalam mempercepat perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan politik pedesaan seperti jalan-jalan utama, listrik, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, irigasi dan air bersih.
Kepada Pemerintah Daerah Sumatera Utara, DPW SPI Sumut menyatakan sikapnya:
Pertama, menuntut agar segera menuntaskan kasus-kasus sengketa dan konflik pertanahan yang ada di Sumatera utara, serta mengembalikan tanah petani yang dirampas. Kemudian bebaskan petani anggota SPI di berbagai wilayah yang ditahan oleh Keppolisian RI karena mempertahankan lahannya.
Kedua, mendesak Pemerintah Propinsi Sumut untuk mengutamakan pembangunan disektor pertanian dan pedesaan, yang memfokuskan pada peningkatan kesejahteraan ekonomi petani, sebagai arah kebijakan utama pemerintah daerah. Menagih janji visi kepala daerah saat ini, agar rakyat Tidak Lapar dan Tidak Miskin.
Ketiga, melibatkan petani/ organisasi tani dalam merumuskan kebijakan pembangunan sektor pertanian di Sumatera Utara, serta tahap pelaksanaan dan pengawasan.
Kontak lebih lanjut:
Wagimin (Ketua Umum) : 081361637069
Hendra Harahap, MSi (Biro Kajian Strategis): 081375061110
====================================
Dewan Pengurus Wilayah
Serikat Petani Indonesia
Sumatera Utara
0 komentar: on "Kebijakan Neoliberal Gagal Membangun Pertanian dan Menyejahterakan Petani"
Posting Komentar