Hadiri Beramai-Ramai

Latest Posts

Selasa, 29 Desember 2009

Profil SBM

Sanggar Bebas Merdeka

berdiri pada tanggal 11 Agustus 2009, diprakarsai oleh Randy Syahrizal, M. Laksamana Mahardika, Rahmad Dian Harahap dan Arlen Girsang. SBM merupakan sebuah komunitas seni dan sastra yang bersifat terbuka.

Sebenarnya gagasan mengenai pembentukan sebuah wadah atau sanggar yang bertujuan untuk menghimpun seniman-seniman dan sastrawan-sastrawan muda yang miskin pengalaman namun punya keinginan belajar dan berkarya sudah diwacanakan sejak setengah tahun yang lalu. namun terlambat bukanlah sebuah bentuk kemunduran. keinginan belajar dan berkarya adalah semangat awal yang diusung oleh pekerja-pekerja seni dan budaya didalam Sanggar Bebas Merdeka.

Sanggar ini berkedudukan di Medan. Sanggar Bebas Merdeka mempunyai kolektif kerja yang dipimpin oleh seorang Koordinator, dan beberapa departemen. kolektif kerja sanggar saat ini masih diisi oleh 4 orang seniman amatir (namun giat belajar dan mencoba produktif dalam berkarya), antara lain :

Koordinator :
Randy Syahrizal

Departemen Sastra dan Budaya :
Rahmad Dian Harahap

Departemen Seni Rupa :
M. Laksamana Mahardika

Departemen Seni Musik :
Arlen Girsang




read more...

Jumat, 04 Desember 2009

Noam Chomsky dan Perjuangan Melawan Neoliberalisme

Robert W McChesney Neoliberalisme adalah paradigma ekonomi politik yang mendefinisikan jaman kita - ia mengacu pada berbagai kebijakan dan proses di mana segelintir kepentingan swasta diperbolehkan mengontrol sebesar mungkin kehidupan sosial agar dapat memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. Awalnya diasosiasikan dengan Reagan dan Thatcher, selama dua dekade neoliberalisme telah menjadi tren ekonomi politik global yang dominan dan diadopsi oleh partai-partai politik di tengah dan banyak partai-partai kiri tradisional* maupun kanan. Partai-partai ini dan kebijakan yang mereka terapkan mewakili kepentingan mendesak para investor yang sangat kaya berupa perusahaan besar yang jumlahnya kurang dari seribu. Di samping kalangan akademisi dan anggota komunitas bisnis, istilah neoliberalisme kebanyakan tidak diketahui maupun digunakan oleh khalayak luas, terutama di Amerika Serikat. Di sana justru kebalikannya, inisiatif neoliberal dikarakterkan sebagai kebijakan pasar bebas yang mendorong usaha swasta dan pilihan konsumen, menjunjung tanggung-jawab pribadi dan inisiatif bisnis, dan menghabisi tangan mati pemerintah yang tidak kompeten, birokratik dan parasitik, yang tak pernah dapat berbuat baik bahkan bila niatnya baik, dan itu pun jarang ada. Selama satu generasi, upaya-upaya hubungan masyarakat (public relations) telah memberikan istilah dan ide ini aura yang hampir sakral. Hasilnya, klaim-klaim yang mereka ajukan jarang butuh dibela, dan itu dilakukan untuk merasionalisasikan segalanya dari mengurangi pajak bagi kaum kaya dan mempreteli regulasi lingkungan hidup hingga melucuti pendidikan publik dan program-program kesejahteraan sosial. Memang, segala aktivitas yang dapat mengganggu dominasi korporasi terhadap masyarakat, otomatis dicurigai; karena itu akan mengganggu mekanisme pasar bebas, yang diajukan sebagai satu-satunya hal yang dapat mengalokasikan barang kebutuhan dan jasa secara rasional, adil, dan demokratik. Saat tampil paling lihai, para proponen neoliberalisme terdengar seakan-akan mereka melayani rakyat miskin, lingkungan hidup, dan semua orang ketika mereka menerapkan kebijakan atas nama segelintir kaum kaya. Konsekuensi ekonomi dari kebijakan-kebijakan hampir di mana pun adalah sama, dan tepat seperti yang bisa kita duga: meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi secara massif, memperparah kesengsaraan negeri-negeri termiskin dan rakyat di dunia secara nyata, bencana bagi lingkungan hidup secara global, ekonomi global yang tak stabil dan bonanza yang tak ada duanya bagi kaum kaya. Dihadapkan pada fakta-fakta ini, para pembela tatanan neoliberal mengklaim bahwa hasil penjarahan terhadap kehidupan rakyat pasti akan menyebar ke massa luas penduduk - asalkan kebijakan neoliberal yang memperparah problem tidak diganggu. Akhirnya, kaum neoliberal tidak mampu dan tidak menawarkan pembelaan empiris bagi dunia yang sedang mereka buat. Sebaliknya, mereka menawarkan - bahkan menuntut - keyakinan relijius terhadap kebenaran mutlak pasar yang tak diregulasi, yang diambil dari teori-teori abad kesembilan-belas yang sangat sedikit relevansinya dalam dunia nyata. Kartu as terakhir para pembela neoliberalisme, walau demikian, adalah bahwa tidak ada alternatif lain. Masyarakat komunis, demokrasi sosial, dan bahkan negara kesejahteraan yang moderat seperti Amerika Serikat telah gagal, demikian klaim kaum neoliberal, dan para warganya telah menerima neoliberalisme sebagai jalan satu-satunya yang mungkin. Ia mungkin tak sempurna, tapi itulah satu-satunya sistem ekonomi yang mungkin. Pada awal abad keduapuluh, beberapa kritikus menyebut fasisme sebagai "kapitalisme tanpa sarung tangannya", artinya fasisme adalah kapitalisme murni tanpa hak-hak demokratik dan organisasi. Faktanya, kita mengetahui bahwa fasisme jauh lebih kompleks dari itu. Neoliberalisme, di sisi lain, memang "kapitalisme tanpa sarung tangan." Ia mewakili suatu era di mana kekuatan bisnis lebih kuat dan lebih agresif, serta menghadapi oposisi yang lebih tak terorganisir dibandingkan sebelumnya. Dalam iklim politik ini mereka mencoba menyusun kekuatan politik mereka dalam semua lini yang dimungkinkan, dan sebagai hasilnya kekuatan bisnis semakin sulit ditentang, serta masyarakat sipil (non-pasar, non-komersial, dan demokratik) dapat dikatakan hampir tidak ada. Justru pada penindasannya terhadap kekuatan-kekuatan non-pasar ini lah kita melihat bagaimana neoliberalisme beroperasi bukan saja sebagai sistem ekonomi, tapi juga sebagai sistem politik dan budaya. Di sini terdapat perbedaan mencolok dengan fasisme, yang berdasarkan rasisme dan nasionalisme membenci demokrasi formal dan gerakan sosial yang sangat termobilisasi. Neoliberalisme berjalan paling baik ketika terdapat demokrasi elektoral, tapi ketika penduduknya dijauhkan dari informasi, akses, dan forum-forum publik yang dibutuhkan bagi partisipasi bermakna dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana dituturkan oleh guru neoliberal Milton Friedman dalam Capitalism and Freedom, karena penciptaan-profit adalah esensi demokrasi, pemerintah mana pun yang mengupayakan kebijakan anti-pasar adalah anti-demokratik, tak peduli sebesar apa pun dukungan rakyat terdidik terhadap mereka. Maka yang terbaik adalah membatasi kerja pemerintahan dalam melindungi kepemilikan swasta dan mempertahankan kontrak perjanjian yang ada, serta membatasi debat politik pada isu-isu yang tak penting. (Persoalan yang penting seperti produksi dan distribusi sumber daya serta organisasi sosial harus ditentukan oleh kekuatan pasar.) Berbekal pemahaman demokrasi yang sesat ini, kaum neoliberal seperti Friedman tidak keberatan dengan aksi militer penggulingan pemerintahan Allende di Cili yang terpilih secara demokratik, karena Allende mengganggu kontrol bisnis dalam masyarakat Cili. Setelah lima belas tahun berada di bawah kediktatoran yang seringkali brutal dan liar - semuanya atas nama pasar bebas yang demokratik - demokrasi formal dihidupkan kembali pada 1989 dengan konstitusi yang sangat mempersulit, kalau tak bisa dibilang tak memungkinkan, bagi warga negara untuk menentang dominasi militer-bisnis dalam masyarakat Cili. Itulah demokrasi neoliberal secara ringkas: perdebatan remeh-temeh tentang isu-isu yang tak penting oleh partai-partai yang pada dasarnya mengupayakan kebijakan yang sama-sama pro-bisnis, terlepas dari perbedaan formal dan perdebatan kampanye. Demokrasi dibolehkan selama upaya mengontrol bisnis berada di luar pembahasan atau perubahan oleh rakyat, dengan kata lain, selama itu bukan demokrasi. Sistem neoliberal dengan demikian memiki produk sampingan yang penting dan dibutuhkannya - warga negara yang terdepolitisasi, ditandai oleh apatisme dan kesinisan. Bila demokrasi elektoral hanya berdampak kecil dalam kehidupan sosial, tidaklah rasional memberikannya banyak perhatian; di Amerika Serikat, lahan berkembang-biaknya demokrasi neoliberal, jumlah pemilih dalam pemilihan kongres tahun 1998 mencatat rekor terendah, dengan hanya sepertiga warga dengan hak pilih hadir di tempat pemungutan suara. Walau terkadang ini menjadi kekuatiran partai-partai besar seperti Partai Demokrat AS yang cenderung mengincar suara dari mereka yang dimiskinkan, rendahnya jumlah pemilih cenderung diterima dan didukung oleh kekuatan-kekuatan yang ada sebagai sesuatu yang sangat baik; karena para non-pemilih, bukan kejutan lagi, secara menyolok berasal dari kelas miskin dan pekerja. Kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan minat pemilih dan tingkat partisipasi segera dikebiri sebelum sampai ke arena publik. Di Amerika Serikat, contohnya, dua partai besar yang didominasi kekuatan bisnis, dengan dukungan komunitas korporasi, telah menolak undang-undang reformasi - beberapa diantaranya mereka caci-maki - sehingga tidaklah mungkin membentuk partai politik baru (yang dapat menarik minat non-bisnis) dan membuatnya efektif. Walaupun sering terlihat adanya ketidakpuasan dengan Partai Republikan dan Partai Demokrat, politik elektoral adalah satu arena di mana konsep kompetisi dan pilihan bebas tidak banyak bermakna. Dalam beberapa aspek, kaliber debat dan pilihan dalam pemilihan umum neoliberal cenderung menyerupai negara komunis berpartai-tunggal daripada suatu demokrasi sejati. Tapi ini belum mengindikasikan dampak berbahaya neoliberalisme dalam budaya politik yang berpusat pada warga. Di satu sisi, ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan neoliberal menghambat segala upaya untuk merealisasikan kesetaraan hukum yang dibutuhkan untuk membuat demokrasi kredibel. Korporasi besar memiliki sumber daya untuk mempengaruhi media dan menguasai proses politik, dan hal itu mereka lakukan. Dalam politik elektoral AS, sebagai satu contoh saja, seperempat dari satu persen warga terkaya di Amerika memberikan 80% dari keseluruhan kontribusi politik individual; sedangkan korporasi menghabiskan lebih banyak uang untuk itu dibandingkan buruh dengan perbandingan sepuluh banding satu. Dalam neoliberalisme ini semua masuk akal; pemilihan umum mencerminkan prinsip pasar, dengan besarnya kontribusi sebanding dengan investasi. Hasilnya, ia memperkuat anggapan bahwa politik elektoral tidak relevan bagi kebanyakan orang dan kekuasaan korporasi tetap terjaga tanpa digugat. Di sisi lain, agar efektif, demokrasi mengharuskan orang merasakan koneksi dengan sesama warga negara, dan koneksi ini memanifestasikan dirinya melalui beragam organisasi dan institusi non-pasar. Budaya politik yang hidup membutuhkan kelompok-kelompok komunitas, perpustakaan, sekolah umum, organisasi warga, koperasi, tempat pertemuan umum, asosiasi sukarelawan, dan serikat buruh yang memberikan jalan bagi warga untuk bertemu, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan sesamanya. Demokrasi neoliberal, dengan konsep pasar uber alles, membidik sektor ini. Bukannya warga negara, ia menghasilkan konsumen. Bukannya komunitas, ia memproduksi mal-mal belanja. Hasil akhirnya adalah masyarakat yang teratomisasi, terdiri dari individu-individu yang terpisah-pisahkan, yang merasakan demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya. Ringkasnya, neoliberalisme adalah musuh utama dan terdepan bagi demokrasi partisipatoris sejati, bukan saja di Amerika Serikat tapi di seluruh penjuru planet, dan ini akan berlanjut di masa depan. Adalah tepat bahwa Noam Chomsky merupakan tokoh intelektual terdepan di dunia saat ini dalam pertempuran merebut demokrasi dan melawan neoliberalisme. Pada tahun 1960an Chomsky adalah kritikus perang Vietnam utama yang berasal dari AS dan, lebih luas lagi, mungkin merupakan seorang analis paling tajam mengenai kebijakan luar negeri AS yang menghancurkan demokrasi, menghanguskan HAM, dan mengedepankan kepentingan segelintir kaum kaya. Pada tahun 1970an, Chomsky (bersama mitranya, Edward S. Herman) mulai melakukan riset tentang cara-cara media berita AS melayani kepentingan elit dan menghambat kapasitas warga negara dalam mengatur secara sungguh-sungguh kehidupan mereka secara demokratik. Buku mereka yang terbit tahun 1988, Manufacturing Consent masih menjadi titik tolak bagi penyelidikan yang serius mengenai kinerja media berita. Selama tahun-tahun ini Chomsky, yang dapat dikarakterkan sebagai seorang anarkis atau mungkin lebih akuratnya, sosialis libertarian, ialah seseorang yang vokal, berprinsip, serta secara konsisten dan demokratik menentang dan mengritik negara dan partai politik Komunis dan Leninis. Ia mendidik tak terhitung banyaknya orang, termasuk saya sendiri, bahwa demokrasi adalah batu pijakan yang tak bisa dinegosiasikan dalam masyarakat paska-kapitalis apa pun yang patut diperjuangkan atau menjadi tempat kita menjalani hidup. Pada saat bersamaan, ia mendemonstrasikan absurdnya menyama-nyamakan kapitalisme dengan demokrasi, atau berpikir bahwa masyarakat kapitalis, bahkan dalam situasi terbaiknya, akan membuka akses informasi atau pengambilan keputusan yang melampaui kemungkinan yang paling sempit dan terkontrol. Saya ragu bahwa ada penulis lain, kecuali mungkin George Orwell, yang mendekati Chomsky dalam menghimpun secara sitematis kemunafikan kaum penguasa dan para pakar ideologi di masyarakat Komunis dan kapitalis dengan klaim mereka bahwa demokrasi mereka adalah bentuk paling sejati yang dimungkinkan bagi kemanusiaan. Pada tahun 1990an, semua ragam tema karya politik Chomsky - dari anti-imperialisme dan analisis kritik media hingga tulisan-tulisan tentang demokrasi dan gerakan buruh - telah dikumpulkan, berkulminasi pada karya seperti Profit Over People, tentang demokrasi dan ancaman neoliberal. Chomsky telah banyak berjasa dalam menghidupkan pemahaman tentang persyaratan sosial bagi demokrasi, dengan menarik pelajaran dari Yunani kuno maupun pemikir-pemikir utama dalam revolusi demokratik dari abad ketujuhbelas dan delapanbelas. Sebagaimana dijelaskannya, tidaklah mungkin menjadi proponen demokrasi partisipatoris dan pada saat bersamaan menjadi kampiun kapitalisme atau masyarakat lainnya yang terbagi-bagi dalam kelas. Dalam melakukan penilaian terhadap perjuangan historis riil untuk demokrasi, Chomsky juga mengungkap bahwa neoliberalisme sama sekali bukan hal baru; ia hanyalah versi terkini dari peperangan yang dilakukan oleh segelintir kaum kaya untuk memangkas hak-hak politik dan kekuasaan warganegara dari kaum yang jumlahnya jauh lebih besar. Chomsky bisa jadi juga seorang kritik terdepan terhadap mitologi pasar "bebas" alami, yakni hymne gembira yang didesakkan ke kepala kita tentang ekonomi yang kompetitif, rasional, efesien, dan adil. Sebagaimana ditunjukkan oleh Chomsky, pasar hampir selalu tak pernah kompetitif. Sebagian besar ekonomi didominasi oleh korporasi yang massif dengan kontrol luar biasa terhadap pangsa pasar mereka dan oleh karenanya menghadapi sedikit kompetisi berharga seperti yang digambarkan dalam buku-buku pelajaran ekonomi dan pidato-pidato politikus. Lebih jauh lagi, berbagai korporasi pun adalah organisasi yang secara efektif totaliter, beroperasi menurut garis non-demokratik. Dengan ekonomi kita yang berpusat pada institusi seperti itu, sungguh terkompromikanlah kemampuan kita untuk memiliki masyarakat yang demokratik. Mitologi pasar bebas juga meyakini bahwa pemerintah adalah institusi yang tak efesian dan harus dibatasi, agar tidak merugikan sihir laissez faire alami pasar. Faktanya, sebagaimana ditekankan oleh Chomsky, pemerintah menempati posisi sentral dalam sistem kapitalis modern. Mereka dengan murah hati menyubsidi korporasi dan bekerja untuk mendorong kepentingan korporasi dalam berbagai lini. Korporasi yang diuntungkan oleh ideologi neoliberal faktanya justru sering munafik: mereka menghendaki dan mengharapkan pemerintah untuk mengucurkan dolar pajak ke mereka, dan melindungi pasar mereka dari kompetisi, tapi mereka ingin diyakinkan bahwa pemerintah tidak akan memajaki mereka atau memberi dukungan atas nama kepentingan non-bisnis, terutama kaum miskin dan kelas pekerja. Pemerintah justru lebih besar dari sebelumnya, tapi di bawah neoliberalisme mereka lebih tidak berpura-pura mengakomodasi kepentingan non-korporasi. Peran sentral pemerintah dan pembuat kebijakan paling nyata terlihat dalam kemunculan ekonomi pasar global. Apa yang dipresentasikan oleh para ideolog pro-bisnis sebagai ekspansi alami pasar bebas melintasi perbatasan, pada faktanya adalah sebaliknya. Globalisasi adalah hasil dari pemerintah-pemerintah adidaya, terutama Amerika Serikat, yang mendorong kesepakatan-kesepakatan dagang dan perjanjian lainnya ke tenggorokan rakyat dunia untuk memudahkan korporasi dan kaum kaya mendominasi ekonomi-ekonomi bangsa di seluruh dunia tanpa bertanggung-jawab apa pun terhadap rakyat-rakyat bangsa tersebut. Proses ini tampak paling jelas dalam pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia pada awal 1990an dan kini dalam perumusan rahasia atas nama Kesepakatan Investasi Multilateral (MAI). Sesungguhnya, salah satu ciri paling menyolok dari sistem ini adalah kemampuannya mengebiri diskusi dan debat yang jujur dan terbuka tentang neoliberalisme di Amerika Serikat maupun tempat lainnya. Kritik Chomsky terhadap tatanan neoliberal secara efektif berada di luar jangkauan analisa mainstream meskipun tersedia landasan empiris yang kuat dan berkomitmen pada nilai-nilai demokratik. Di sini, analisa Chomsky tentang sistem doktrinal dalam demokrasi kapitalis menjadi berguna. Korporasi media berita, industri Humas, ideolog-ideolog akademisi, dan budaya intelektual menuliskan sandiwara besar untuk menyajikan "ilusi yang dibutuhkan" agar situasi yang tak dapat ditolerir ini tampil seolah-olah rasional, berlandaskan niat-baik, dan dibutuhkan (kadang perlu tampil diinginkan). Sebagaimana buru-buru ditunjukkan oleh Chomsky, ini bukan konspirasi formal oleh kepentingan besar, karena tak perlu seperti itu. Melalui beragam mekanisme institusional, dikirimkan sinyal-sinyal kepada para intelektual, komentator, dan wartawan, untuk mendorong agar status quo terlihat sebagai pilihan terbaik di antara yang mungkin. Diupayakan pula agar mereka yang diuntungkan oleh status quo dijauhkan dari tantangan. Karya Chomsky adalah seruan langsung bagi para aktivis demokratik untuk membangun kembali sistem media kita agar terbuka bagi perspektif dan penyelidikan anti-korporasi dan anti-neoliberal. Ini juga suatu tantangan bagi semua intelektual, atau setidaknya mereka yang menyatakan berkomitmen terhadap demokrasi, untuk berkaca langsung di hadapan cermin dan menanyakan diri mereka sendiri kepentingan siapa, dan untuk nilai-nilai apa, mereka melakukan pekerjaan mereka. Deskripsi Chomsky tentang cengkraman neoliberal/korporasi dalam ekonomi, kebijakan, jurnalisme, dan budaya kita begitu kuat dan menimbulkan keprihatinan sehingga bagi beberapa pembaca itu dapat menciutkan nyali. Dalam masa politik yang mendemoralisir ini, beberapa pihak dapat mengambil langkah berikutnya dengan menyimpulkan bahwa kita terjebak dalam sistem yang regresif ini karena, sayangnya, umat manusia praktis tak mampu menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi, egalitarian dan demokratik. Faktanya, kontribusi terbesar Chomsky mungkin terletak pada penekanannya pada kecenderungan demokratik yang fundamental dalam rakyat di dunia, dan potensi revolusioner yang tersirat dalam denyut tersebut. Bukti terbaik tentang kemungkinan ini adalah begitu bersusah-payahnya korporasi mencegah berdirinya demokrasi politik yang sejati. Para penguasa dunia memahami secara implisit bahwa sistem mereka didirikan untuk memenuhi kebutuhan segelintir, bukan banyak orang, dan bahwa orang yang lebih banyak tersebut tidak dapat dibolehkan mempertanyakan atau mengubah kekuasaan korporasi. Bahkan dalam demokrasi tambalan yang memang ada, komunitas korporasi bekerja tanpa henti untuk mengawasi agar isu-isu penting seperti MAI tidak pernah diperdebatkan secara umum. Dan komunitas bisnis membelanjakan uang yang sangat banyak untuk menyewa aparat humas untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa yang ada adalah yang terbaik dari segala yang mungkin. Menurut logika ini, kemungkinan perubahan sosial yang lebih baik perlu ditakuti bila komunitas korporasi meninggalkan humasnya dan tak lagi menyogok pemilu, membolehkan media representatif, dan tak keberatan mendirikan demokrasi partisipatoris egalitarian sejati karena ia tak lagi takut pada kekuatan rakyat banyak. Pesan-pesan neoliberalisme yang paling lantang adalah bahwa tidak ada lagi alternatif terhadap status-quo, dan bahwa umat manusia telah mencapai tingkat yang tertinggi. Chomsky menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode lain sebelumnya yang dinyatakan sebagai "akhir sejarah". Pada tahun 1920an dan 1950an, contohnya, kaum elit AS mengklaim bahwa sistem yang ada berjalan baik dan kejinakan massa mencerminkan kepuasan meluas terhadap status quo. Peristiwa yang terjadi tak lama setelah itu membuat terang benderang ketololan keyakinan tersebut. Dugaan saya adalah bila kekuatan demokratik mencatat sedikit saja kemenangan nyata, darah pun segera mengalir kembali dalam nadi mereka, dan pembicaraan tentang tidak adanya harapan untuk perubahan akan bernasib sama seperti fantasi-fantasi kaum elit sebelumnya tentang kejayaan kekuasaan mereka yang akan berlangsung selama seribu tahun. Pandangan bahwa tidak ada alternatif yang lebih baik terhadap status quo justru saat ini lebih parah dibandingkan sebelumnya, dalam era di mana terdapat teknologi-teknologi yang susah diterima akal dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kondisi manusia. Benar bahwa masih belum jelas bagaimana kita dapat mendirikan tatanan paska-kapitalis yang dimungkinkan, bebas, dan manusiawi; pandangan itu memiliki kesan utopia. Tapi tiap langkah maju sejarah, dari pengakhiran perbudakan dan pendirian demokrasi untuk mengakhiri kolonialisme formal, pada titik tertentu harus menaklukkan anggapan bahwa hal tersebut tak mungkin karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Sebagaimana ditunjukkan oleh Chomsky, aktivisme politik terorganisir berjasa atas tingkat demokrasi yang kita miliki saat ini, hak pilih universal bagi orang dewasa, hak-hak perempuan, serikat buruh, hak-hak sipil, kebebasan yang kita nikmati. Bahkan bila pandangan tentang masyarakat paska-kapitalis tampaknya tak tercapai, kita tahu bahwa aktivitas politik manusia dapat membuat dunia tempat kita tinggal menjadi sangat manusiawi. Ketika kita mencapai titik tersebut, mungkin kita akan dapat kembali memikirkan tentang pembangunan ekonomi politik yang berdasarkan pada prinsip kerjasama, persamaan, pemerintahan swadaya, dan kebebasan individu. Hingga saat itu tiba, perjuangan untuk perubahan sosial bukanlah persoalan hipotetik. Tantangan neoliberal saat ini telah menyebabkan krisis politik dan ekonomi yang massif dari Asia timur ke Eropa timur dan Amerika Latin. Kualitas kehidupan di negeri-negeri maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Utara sangat rapuh dan masyarakatnya berada dalam keresahan yang cukup berarti. Pergolakan besar menghantui tahun-tahun dan dekade ke depan. Terdapat keraguan yang cukup besar tentang kelanjutan dari pergolakan itu, dan sedikit saja alasan untuk memikirkan itu akan otomatis berujung pada resolusi yang demokratik dan manusiawi. Itu akan ditentukan oleh bagaimana kita, sebagai rakyat, mengorganisir diri, merespon, dan beraksi. Seperti dikatakan Chomsky, bila kau beraksi layaknya tak ada perubahaan yang lebih baik, maka kau menjamin bahwa tidak ada perubahan yang lebih baik. Pilihan ada pada kita, pilihan ada pada Anda. ------------- *Kiri tradisional yang dimaksud adalah partai-partai komunis peninggalan perang dingin.
read more...

HMI Fisip USU Dukung Hak Angket Bank Century

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fisip Universitas Sumatera Utara (USU) mendukung penuh hak angket DPR RI untuk kasus Bank Century. Dukungan tersebut disampaikan dalam aksi demo di bundaran Majestik Jalan Gatot Subroto Medan, Rabu (2/12). Koordinator aksi, Edo di kampus USU sebelum menuju lokasi aksi menyebutkan, dukungan yang disampaikan ini sebagai bentuk kepedulian penyelesaian kasus Bank Century secara transparansi dan tuntas. "Dalam proses hak angket itu diharapkan anggota DPR RI tidak menjadi para koruptor-koruptor baru," tegas Edo. Aksi yang dilakukan puluhan HMI Fisip USU di Bundaran Majestik itu dengan menggelar poster dan spanduk, sehingga sempat mengundang perhatian pengguna lalu lintas. Edo dalam orasinya meminta agar segera selesaikan kasus Bank Century dan selamatkan uang negara sebesar 6,7 triliun. Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Presiden RI harus tegas dalam menangani semua kasus ini. "Presiden harus tegas dan tidak menutupi-nutupi kasusnya. Bahkan jika memang tidak mampu, mundur saja dari jabatannya," kata Edo. Kepada segenap jajaran pemerintahan diharapkan juga agar menjalankan dan menegakkan tugas serta fungsi aparatur hukum negara demi Indonesia bebas dari korupsi. Kasus korupsi yang merajalela di negara ini, menurut Edo sudah sangat mengakar yang sudah sampai ke fondasinya. Kondisi itu cukup memprihatinkan bagi negara ini, sebab korupsi bisa menjadi bahaya laten, sehingga mengakibatkan dampak yang lebih parah mungkin dari pada pembantaian massal atau genosida. "Kami kecewa dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan negara kita ini, baik di eksekutif, legislatif termasuk aparatur hukum yang seharusnya menegakkan dan mengadili permasalahan yang ada, namun sampai saat ini belum juga terselesaikan," kata Edo. HMI Fisip USU sesalkan kasus Bank Century yang merugikan negara sebesar 6,7 Triliun, padahal seharusnya dana tersebut dapat dialirkan untuk kesejahteraan rakyat.
read more...

Selasa, 01 Desember 2009

Ribuan Demonstran Kepung Gedung DPR/MPR RI

Selasa, 1 Desember 2009-19.41 WIB | bravo Jakarta (Berdikari Online) - Ribuan pemuda dan mahasiswa mengepung gedung DPR/MPR sejak pagi, Selasa (01/12), untuk menyatakan dukungan terhadap usul penggunaan Hak Angket DPR untuk mengusut kasus Bank Century. Berdasarkan pantauan Berdikari Online, sedikitnya ada enam kelompok pergerakan yang menggelar aksi di depan gedung DPR RI, diantaranya Aliansi Parlemen Jalanan (APJ), Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Indonesia, Repdem, Serikat Pemuda dan Mahasiswa Indonesia, dan HMJ Universitas Trisakti. Dalam aksi itu, masing-masing kelompok datang secara terpisah, kemudian membuat panggung berorasi secara terpisah pula. Aliansi Parlemen Jalanan melakukan pergelaran topeng monyet, yang menggambarkan sejumlah pejabat penting mencuri uang dari bank century. Sementara kelompok demonstran lainnya menggelar orasi-orasi politik secara bergantian. Pada intinya, mereka menuntut agar DPR serius memperjuangkan hak angket untuk mengungkap dugaan skandal dalam kasus century. Massa memasang dua buah banner berukuran besar tepat di pintu gerbang gedung DPR RI, berisikan foto dan poster kecaman terhadap Budiono dan Sri Mulyani. "Kita menginginkan, bahwa pengungkapan kasus century ini dilakukan dengan serius melalui hak angket ini," ujar Lalu Hilman Afriandi, juru bicara Aliansi Parlemen Jalanan, Selasa (01/12). Menurutnya, proses hak angket ini merupakan dorongan politik di tingkat elit, namun memerlukan dukungan dan pengawasan dari rakyat secara keseluruhan. Untuk itu, katanya, rakyat perlu mengorganisasikan kekuatan untuk mengawal proses politik itu. Dalam aksi itu, massa juga menuntut pencopotan terhadap Budiono dan Sri Mulyani, dua pejabat yang disebutkan paling bertanggung jawab terhadap pengucuran dana Rp6,7 triliun untuk bank century saat itu. Beberapa saat kemudian, perwakilan pengusul hak Angket dari PDI Perjuangan, Maruar Sirait menemui para demonstran. Dia menyampaikan hasil paripurna DPR-RI, yang mengabulkan penggunaan Hak Angket oleh DPR untuk mengusut skandal Bank Century. (Ulf)


read more...

Jumat, 27 November 2009

Pujian Dan Cacian Pada Skandal Century

Gonjang-ganjing kasus bank Cenutry kini kembali naik kepermukaan dan kian menghebohkan, sementara keresahan publik lagi usai lantaran perseretuan hukum antara Kejaksaan Agung Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belumlah usai. Berbagai komentar publik dan polemik di media massa, pun ramai bermunculan. Mulai dari pujian hingga cacian yang ditujukan kepada para pejabat negara yang terlibat dalam persoalan hukum tersebut. Skandal Bank Century terkuak ke permukaan ketika kalah kliring pada 13 November 2008. Pemerintah pun memutuskan untuk menyelamatkan bank swasta itu di tengah bayang-bayang krisis keuangan global yang telah melanda dunia saat itu khususnya di Amerika Serikat. Saat itu pemerintah tidak mau ambil resiko sebab jika sampai Bank Century ambruk dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Kebijakan untuk memberikan dana talangan (bail out) segera saja diputuskan guna mencegah “rush” berupa penarikan dana secara besar-besaran dari para nasabah, seperti yang terjadi pada 1998. Pemerintah turun tangan mengambil alih bank itu lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 21 November 2009. Dana sebesar Rp6,7 triliun digelontor ke bank tersebut dengan harapan bisa beroperasi kembali secara normal. Aparat kepolisian juga bertindak cepat pada 26 Desember 2008, Mabes Polri menahan salah satu pemegang yang juga menjadi Direktur Utama yakni Robert Tantular. Sayangnya, dua pemegang saham yang andil besar atas jatuhnya bank itu yakni Rafat Ali Risvi dan Hesham Al Warraq terlanjur kabur ke luar negeri. Begitu juga dengan Kepala Divisi Bank Note Bank Century, Dewi Tantular, yang tidak lain adik Robert juga kabur. Polri telah menetapkan 17 tersangka dalam skandal itu namun baru 11 orang yang telah dan akan diajukan ke pengadilan sedangkan yang lainnya kabur. Jumlah tersangka akan terus berkembang karena penyidikan masih terus berlangsung. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Susno Duadji mengatakan, kasus pidana skandal Centuruy terus berkembang bahkan bisa “beranak pinak”. Misalnya, ada kasus reksadana PT Antaboga Delta Sekuritas di skandal itu dan ada kasus penipuan dan penggelapan di kasus Antaboga. Kasus pidana yang ada antara lain perbankan, investasi ilegal, kredit fiktif, penipuan, penggelapan dan pencucian uang. “Jadi Robert Tantular memang sudah divonis empat tahun namun dia akan disidang lagi untuk kasus lain. Setidaknya ada enam kasus yang menjadikan dia sebagai tersangka. Dia bisa keluar masuk pengadilan untuk kasus yang berbeda,” katanya. Memburu Asset Tidak hanya menyeret pelaku kejahatan ke pengadilan, pemerintah juga memburu asset milik pelaku kejahatan dan milik Bank Century baik di dalam maupun di luar negeri. Awalnya, Polri cuma menyita sejumlah aset milik para tersangka. Aset-aset itu antara lain 22 hektare tanah di Jl. Fatmawati, 100 hektare tanah di Depok, dan 75 persen saham di PT Bumi Serpong Damai, 100 persen saham Serpong Plaza, Perumahan Buana Plaza, Serpong Trade Center, dan Takeda Farmasi serta Rumah Sakit Husada Utama. Polri juga menyita uang tunai Rp546 juta, saham di PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia sebanyak 3,295 miliar lembar saham, dan saham PT Bahana Sekuritas sebanyak 269 juta lembar. Aset lain yang disita adalah uang tunai Rp 25,5 miliar, tiga unit mobil, empat sertifikat tanah di Cempaka Putih senilai Rp350 juta. Selain itu, masih ada uang tunai di Krendang Duri Utara sebesar Rp200 juta, Desa Cinere Rp 500 juta, dan Kemang 1 Rp 1,6 miliar, serta dua unit apartement di Four Seasons Jakarta Selatan dan Asscot di Jakarta Pusat. Perburuan aset pun dilanjutkan ke luar negeri dengan bekerja sama dengan negara lain. Pelacakan asset itu tidak saja melibatkan Polri tapi juga Bank Indonesia, Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Departemen Hukum dan Ham serta Bank Century yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara. Tim pelacak asset Century bekerja sama dengan jumlah negara berhasil membekukan secara permanen uang milik Rifat Ali Risvi dan Hesham Al senilai USD 1,164 miliar atau setara Rp11,64 triliun yang tersimpan di UBS AG Bank, Standard Chartered Bank dan ING Bank. Pencarian dana itu menunggu proses persidangan di Indonesia selesai. Susno menambahkan, ada harta Robert dan beberapa mantan pemilik Century sekitar Rp12 triliun hingga Rp13 triliun yang tersebar ke 10 negara di berbagai belahan dunia antara lain Hongkong, Mauritius dan Jersey. Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia (BI) Boedi Armanto mengatakan Bank Century masih memiliki dana sekitar 156 juta dolar AS di Bank Dressner Swiss. “Dana ini merupakan back to back atau jaminan dari surat berharga yang dimiliki oleh Bank Century,” katanya. Bank Century, kata Boedu, juga memiliki surat berharga senilai 203 juta dolar AS yang memiliki jaminan 220 juta dolar AS salah satu bank di Swiss. Deputi Direktur Pengawasan Bank I Heru Kristiana mengatakan, pihaknya telah mendapatkan surat dari pengadilan Swiss bahwa dana jaminan sebesar 220 juta dolar AS tersebut masih ada. “Kami telah mengusahakan agar klaim dana itu,” kata Heru. Tidak itu saja, pemerinah juga menemukan dan memblokir aset di luar negeri atas nama Robert Tantular senilai Rp 192,5 miliar USB AG Bank Hongkong, Trust Structure di PJK Jersey, dan Private Wealth Management Division di Inggris. Susno mengaku gembira dengan perburuan asset itu karena jumlah asset yang disita sangat banyak dengan nilai hingga belasan triliun rupiah. “Dalam kasus yang sama sebelumnya, paling yang disita hanya beberapa puluh miliar saja,” katanya. Keberhasilan itu patut diacungi jempot karena nilai asset yang disita hingga belasan triliun rupiah. Surat Susno Sayang, keberhasilan melacak berbagai aset itu ternoda gara-gara surat yang ditandatangani oleh Susno untuk membantu pencairan uang USD 18 juta milik salah satu nasabah Bank Century, Budi Sampurno. Tuduhan terhadap Susno yang diduga menerima suap tidak terelakkan. Susno membantah telah membantu pencairan dana nasabah bank dan yang dilakukan adalah memberikan keterangan ke Bank Century bahwa uang USD 18 juta itu sudah tidak ada masalah hukum. “Tidak ada kata-kata yang berisi perintah kepada Bank Century untuk mencairkan rekening itu. Saya terbuka aja. Dan surat itu bukan rahasia kok,” ujar sambil menunjukkan surat itu kepada wartawan. Susno menulis surat itu sebagai jawabab atas pengaduan Budi yang kesulitan mencairkan uang di Bank Century karena uang itu pernah dipermasalahkan secara hukum. Ia membantah telah menerima Rp10 miliar karena membantu pencairan dana itu. ”Saya juga diisukan terima fee 10 persen juga,” katanya. Susno menantang pihak-pihak yang bisa membuktikan adanya uang Rp10 miliar atau fee 10 persen itu dan berjanji akan “membagi” kepada orang yang bisa membuktikan isu itu. Di hadapan Komisi III DPR, Susno bahkan mengucapkan sumpah sambil mengangkat tangan bahwa ia tidak menerima uang suap Rp10 miliar dalam kasus itu. Inspektur Pengawasan Umum Polri Komjen Pol Yusuf Manggabarani mengatakan, hingga kini Polri belum menemukan bukti bahwa Susno menerima uang suap. Namun Tim Delapan yang dibentuk Presiden memberikan rekomendasi bahwa ada kaitan antara kasus pencairan uang itu dengan kasus Bibit-Chandra sehingga perlu ditindaklanjuti oleh Presiden. Akibat kasus Bibit-Chandra yang ada kaitan dengan Century, Susno sempat mengajukan nonaktif dari jabatan namun menjabat lagi saat tim Delapan selesai bertugas. Akankan kasus suat Susno itu akan terus menjadi bahan cacian publik ditengah pujian atas keberhasilan memburu asset Bank Century ? ( ant / Santoso )


read more...

Gubernur Sumut Diharapkan Segera Tetapkan UMP

Rab, Nov 25, 2009 Medan Medan ( Berita ) : Gubernur Sumatera Utara H Syamsul Arifin diharapkan segera menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2010 agar dapat segera disosialisasikan kepada para “stakeholders” khususnya kepada kalangan pekerja dan dunia usaha. “Harapan kita UMP 2010 segera ditetapkan melalui SK Gubernur,” ujar Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sumut, H Mukhyir Hasan Hasibuan di Medan, Rabu [25/11] . Menurut dia, Dewan Pengupahan Daerah Sumatera Utara sudah menyampaikan besaran UMP yang dianggap realistis kepada gubernur untuk dikaji dan kemudian ditetapkan melalui SK Gubernur. Mukhyir menolak menyebut besaran UMP yang diusulkan, namun ia memastikan angkanya diperoleh berdasarkan survei yang sebelumnya telah dilakukan Dewan Pengupahan Daerah Sumatera Utara. Ia memastikan UMP 2010 yang diusulkan lebih besar dibanding UMP 2009 sebesar Rp905 ribu. “Namun tidak etis kalau besarannya kita sebut sekarang karena belum ada SK gubernur.” ”Kini kita tinggal penetapan gubernur, apakah usulan itu disetujui atau masih akan revisi lagi,” katanya. Namun demikian ia berharap gubernur segera mengeluarkan SK UMP 2010 agar Dewan Pengupahan Daerah Sumatera Utara bisa segera melakukan sosialisasi ke daerah-daerah. UMP 2010 tersebut juga sangat dibutuhkan daerah kota/kabupaten untuk menentukan besaran upah minimum kota/kabupaten (UMK). “Besaran upah minimum sektoral provinsi (UMSP) juga hanya bisa ditentukan berdasarkan UMP yang akan di-SK-kan gubernur, karenanya kita berharap gubernur segera mengeluarkan ketetapan mengingat waktu yang tersisa efektif hanya tinggal sebulan lagi,” katanya. ( ant )


read more...

Etnis Tionghoa Ramaikan Bursa Pasangan Calon Walikota Medan

Medan MEDAN (Berita): Bursa pemilihan calon Walikota/Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 belakangan disemarakkan dengan munculnya sejumlah nama yang dianggap pantas untuk mencalonkan diri dalam Pilkada Medan yang akan digelar dalam waktu dekat. Menurut politisi Rafriandi Nasution SE MM,peran serta kalangan etnis Tionghoa juga dianggap pantas turut meramaikan bursa pasangan calon tersebut. “Saya lihat dari beberapa nama tokoh yang telah mencuat pantas menjadi calon belum terlihat seorangpun dari kalangan etnis turunan Tionghoa,” cetus Rafriandi menjawab Berita, kemarin menanggapi semakin mencuatnya sejumlah nama yang disebut-sebut bakal mencalonkan diri dalam perebutan kursi nomor 1 dan 2 di Pemko Medan dalam Pilkada Kota Medan nanti. Padahal menurutnya pasangan fluralisme yang terdiri dari pribumi dan Tionghoa punya peluang besar untuk memenangkan bursa pasangan calon walikota/wakil walikota Medan. Sejumlah nama seperti Pengusaha kondang Sumatera Utara H Rahmat Shah beserta adiknya Ajib Shah juga disebut-sebut menjadi bakal salah satu calon. Kemudian politisi yang juga Ketua Umum DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Sumut H Kamaluddin Harahap juga dianggap pantas jadi calon Walikota Medan. Kemudian H Zulmi Eldin yang kini masih menjabat Sekda Kota Medan juga disebut-sebut bakal meramaikan bursa tersebut, serta masih ada sejumlah nama lainnya. Setidaknya menurut Rafriandi yang juga anggota Komisi C DPRD SU dari Fraksi PAN, etnis Tionghoa sudah pantas mendampingi para calon tersebut untuk posisi wakil Walikota. “Siapapun calon walikota, setidaknya punya potensi menang jika menggandeng sang wakil dari kalangan etnis turunan Tionghoa,” ucap Rafriandi. Tentu saja, politisi muda ini punya alasan kuat dalam mencetuskan prediksinya itu. Sebab menurut Rafriandi komunitas Tionghoa kini mencapai angka 22 persen dari penduduk Kota Medan yang umumnya berdomisili di perkotaan. Selain itu, seperti diketahui WNI turunan Tionghoa yang saat ini justru lebih mendominasi dalam sektor ekonomi, serta termasuk kategori pembayar pajak terbesar. “Semua itu dipastikan bisa terealisasi dengan ketat setidaknya jika salah seorang pejabat di Pemko Medan kelak dari kalangan etnis Tionghoa. Apalagi, etnis tersebut merupakan warga negara yang memang tidak bisa terpisahkan lagi dari penduduk pribumi. Bahkan,kata Rafriandi dalam visi misi yang kelak dilemparkan calon etnis Tionghoa nantinya bisa dipastikan akan mengundang ketertarikan publik. Pasalnya Sumber Daya Manusia dari etnis Tionghoa saat ini tak hanya maju dibidang ekonomi saja, namun telah menyeluruh hingga politik, sosial, olahraga,seni dan lain-lainnya yang pasti akan mendatangkan kontribusi yang besar mampu mengubah Kota Medanmenjadi kota megapolitan. Sederetan tokoh Tionghoa di Kota Medan kini bahkan punya nama besar, seperti Dr Sofyan Tan, Ketua INTI, Indra Wahidin,serta pengusaha Brilian Mochtar yang kini juga menjadi seorang politisi. Namun demikian, Rafriandi juga tak menampik jika kalangan etnis tersebut setidaknya masih pantas sebatas menduduki posisi wakil walikota, hanya disebabkan persoalan etika politik. Kenapa demikian?, karena menurut Rafriandi secara logikanya etnis dari suku lain juga cukup mendominasi di kota ini,seperti Jawa, Melayu dan Minang. “Secara logika mungkin persaingan cukup berat. Namun untuk sekedar memunculkan nama calon sah-sah sajalah,” ucapnya. Sedangkan jika untuk pemilihan lima tahun setelah periode nanti, Rafriandi mengatakan sah-sah saja jika ada kalangan etnis Tionghoa yang pantas diusung menjadi calon Walikota Medan, setidaknya setelah menunjukkan hasil kinerjanya. “Mungkin saja setelah di periode ini menjadi wakil selanjutnya menjadi calon walikota, jika memang kinerja dan komitmennya cukup baik sesuai visi misi yang diemban tentunya publik juga akan mendukung,” kata Rafriandi yang juga Ketua Badan Sepakbola Liga Instansi ini.(irm)


read more...