Pengantar Neoliberalisme
Neoliberalisme tiba-tiba saja mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai cawapres SBY dalam pilpres mendatang. Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono adalah seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia.
Sesuai dengan namanya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme, yaitu yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neolibralisme dan neokeynesianisme adalah
sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.
Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali.
Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken, mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekomoni pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon.
Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) Tujuan utama ekonomi liberalis adalah pengembangan kebebasan induvidu untuk bersaing secara bebas-sempurna dipasar. (2) Kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui. (3) Pembentukan harga pasar bukanlah suatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS), pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neolibaral tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.
Sebagaimana diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakan sektor riil, menciptakan lapangan kerja, dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan, “Selama masih ada pengganguran, selamu itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan.”
Namun kedigjayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal tahun 1970-an, menyusul terpilihnya Reagen sebagai Presiden AS dan Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.
Inti paket kebijakan Konsensus Washinton yang menjadi menu utama dasar program penyesuaian strukturak IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi. (2) Liberalisme sektor keuangan. (3) Liberalisme perdagangan dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.
Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam bernagai nota kesepahaman yang ditandatangani pemerintah bersama IMF.
Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB, dan USAID. Maka sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme.(*Revrisond Baswir, adalah Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM)
Oleh Revrisond Baswir
0 komentar: on "Pengantar Neoliberalisme"
Posting Komentar