Hadiri Beramai-Ramai

Jumat, 04 September 2009

Drakula Penyebar Maut itu Bernama Neoliberalisme!

Rudi Hartono

Istilah “drakula” tiba-tiba ramai di kancah politik nasional. Istilah ini pertama kali diucapkan oleh presiden SBY, ketika menggelar konferensi pers untuk mengecam aksi pengeboman terhadap Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton di kawasan Mega Kuningan Jakarta . Menurut SBY, yang mengutip laporan intelijen, ada indikasi keterkaitan peristiwa bom dengan ketidakpuasan terhadap hasil pilpres 2009. Dalam pernyataannya, SBY menuduh ada “drakula penyebar maut”, yang belum pernah tersentuh proses hukum, berada di balik aksi terorisme ini.

Terang sekali, meskipun berkali-kali coba diklarifikasi, tuduhan “drakula penyebar maut” mengacu kepada pesaing-pesaing SBY yang dikalahkan di pilpres, juga kelompok masyarakat yang kurang puas dengan pelaksanaan pilpres.

Siapa Sebenarnya Drakula?

Drakula sendiri, mengutip wikipedia, merupakan tokoh fiksi ciptaan Bram Stoker dalam novelnya Dracula yang diterbitkan pada tahun 1897. Drakula adalah seorang vampir yang diceritakan berasal dari kota Transylvania yang berada di Rumania. Pangeran Vlad Tepes, yang juga dikenal sebagai pangeran drakula, memang tidak pernah divonis sebagai penghisap darah manusia, tapi punya rekaman kekejian, pernah membantai 23.000 orang, dan memperlakukan musuh (baca, korban) dengan sangat keji.

Di tangan SBY, istilah drakula ini dilekatkan kepada kekuatan politik dan kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap hasil pemilu presiden. Sebetulnya, kelompok yang kurang puas dengan hasil pilpres ini sangat luas dan beragam, tapi, sepertinya, dipandang sama oleh SBY sebagai perusuh, doyan kekerasan, dan sebagainya. Padahal, banyak yang memprotes pilpres karena penuh kecurangan dan manipulasi, justru berasal dari kelompok masyarakat yang tidak berafiliasi dengan kandidat manapun.

Di luar itu, istilah “drakula” ini ditafsirkan sebagai pembunuh atau pelanggar HAM, karena oposisi utama penentang hasil pilpres adalah mantan petinggi militer yang punya reputasi kejahatan HAM. Jika mengggunakan kategori ini, tentunya akan sangat tidak fair dan objektif, karena SBY pun tidak bersih dari persoalan HAM dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Berdasarkan catatan, SBY pernah terlibat dalam sejumlah kejahatan HAM, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti peristiwa 27 Juli 1996, penerapan darurat sipil di Aceh, dan sebagainya.

Jika kita menyadari bahwa kejahatan HAM tidak hanya berbicara peran personal, tapi juga berbicara soal organisasi dan struktur, maka SBY pun sebetulnya punya andil besar dalam berbagai kejahatan HAM di masa lalu. Sebab, dalam beberapa kejadian itu, SBY termasuk pejabat yang berada di lingkaran struktur kekuasaan yang melahirkan kejadian-kejadian tersebut.

Di Indonesia, terutama di pilpres ini, isu HAM benar-benar direduksi hanya sekedar kekerasan fisik (bersenjata) yang dilakukan militer terhadap kelompok sipil dan pejuang demokrasi, itupun kurun waktunya hanya dibatasi pada periode 1996 dan 1998. Sehingga, subjek tertuduhnya benar-benar dikunci kepada dua orang, yakni Wiranto dan Prabowo. Padahal, jika perspektif HAM ini diperluas hingga menyangkut persoalan ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob), maka SBY-Budiono pun pelanggar HAM berat. Kemiskinan, misalnya, yang dirasakan oleh ratusan juta orang di negeri ini, dan berakumulasi selama bertahun-tahun, sehingga tidak jarang berakhir dengan bunuh diri, stress, dan berbagai bentuk kehidupan menyedihkan lainnya.

Neoliberalisme juga “Drakula”

Jika menggunakan perbandingan, dampak mengerikan yang ditinggalkan oleh neoliberalisme tidak kalah mengerikan dengan kejahatan HAM politik. Neoliberalisme turut menghisap bukan saja “darah” rakyat Indonesia, tapi juga menghisap kekayaan nasional bangsa Indonesia. Jika drakula hanya menghisap pada malam hari, maka neoliberalisme menghisap rakyat dan kekayaan alam Indonesia setiap detik, tanpa mengenal jeda atau istirahat.

Bukan meremehkan korban rakyat sipil dan pejuang demokrasi pada kurun waktu 1996-1998, tapi seharusnya kita punya “penilaian yang sedikit adil” terhadap seluruh capres-cawapres, berdasarkan kategori dan ukuran yang adil pula.

Seperti diketahui, sejak penerapan neoliberalisme makin intensif, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 49% (sumber, Bank Dunia). Selain itu, akibat liberalisasi sektor kesehatan, terdapat sekurang-kurangnya 50 juta orang menderita gangguan kesehatan, dan jumlah yang sama sulit mengakses layanan kesehatan.

Berdasarkan data, pada tahun 2004 (Cat, SBY sudah jadi presiden), dikatakan bahwa baru 32,3% penduduk Indonesia yang mempunyai rumah, sementara sisanya hidup memprihatinkan. Kemudian menurut Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Hanong Santono, terdapat 119 juta rakyat Indonesia yang belum mengakses air bersih, akibat keputusan pemerintah memprivatisasi pengelolaan air bersih. Di bidang pendidikan, misalnya, menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Dalam tahun 2008 angka tersebut meningkat, karena terjadi pertambahan putus sekolah sekitar 841.000 siswa sekolah dasar dan 211.643 siswa SMP/madrasah tsanawiyah . Jadi, total kepala yang tak mampu dididik oleh Negara hingga tahun 2009 adalah sebesar 13 juta jiwa.

Produktifitas rakyat Indonesia juga merosot. Selain gejala deindustrialisasi yang mendorong peningkatan PHK, tidak adanya program pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian dan memperluas lapangan kerja, menjadi penyebab mayoritas rakyat Indonesia tidak bekerja atau menganggur. Lihat saja, misalnya, pada tahun 2008 terdapat 69% rakyat Indonesia yang bekerja serabutan (tukang ojek, tukang parkir, tukang cuci, PKL, buruh bangunan, buruh angkut, dsb) setiap harinya, dan 8,14 % orang yang bekerja kurang dari 1 jam dalam seminggu. Artinya, sekitar 78% rakyat Indonesia tidak mempunyai pekerjaan yang jelas, dan juga penghasilan yang tetap.

Ada tiga kategori kesejahteraan rakyat yang diserahkan kepada swasta dan mekanisme pasar, yaitu: (1) barang-barang yang punya kegunaan publik dan menguasai hajat hidup orang banyak (air, listrik, telekomunikasi, sarana transportasi, dan lain-lain); (2) standar kesejahteraan sosial (pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, perumahan, dll); (3) institusi umum atau publik (lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dll). Akibatnya, neoliberalisme mendorong sebagian besar rakyat Indonesia kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya.

Diluar angka-angka diatas, kita belum memasukkan angka-angka fantastis dari sumber daya alam dan kekayaan nasional, yang seharusnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, tapi, oleh SBY, diserahkan kepada korporasi dan pihak asing. Jadi, bukan kepentingan satu sektor sosial saja yang dirugikan, tapi juga kepentingan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Ini adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat diampuni.

Jadi, ada beberapa hal yang menyebabkan neoliberalisme menjadi “drakula” yang sangat berbahaya di banding yang lain; pertama, neoliberalisme bukan hanya menghisap rakyat Indonesia, tapi juga menjarah kekayaan alam Indonesia. Akibatnya, seperti juga di negara lain, neoliberalisme meninggalkan dampak jangka panjang (menurun), hampir mirip dengan efek traumatik pada korban kekerasan politik.

Kedua, kerusakan yang ditimbulkan bersifat struktural dan mendalam. Dalam soal ekologi, misalnya, neoliberalisme mempercepat pengrusakan terhadap planet bumi ini, sehingga bukan saja mengancam penghuni “bumi” sekarang, tapi juga mengancam generasi di masa mendatang.

ketiga, sektor atau kelompok sosial yang dirugikan atau dikorbankan oleh neoliberalisme cukup luas dan beragam. Disini, ada beberapa aspek; (1) sektor-sektor yang menderita tekanan ekonomi sebagai konsekuensi neoliberal seperti pekerja, petani, kaum miskin perkotaan (urban poor),strata menengah, kelompok pemilik usaha kecil dan menengah, sektor informal, produsen kecil dan menengah di desa dan kota, kelompok professional, prajurit rendahan, dan juga sebagian kapitalis nasional.(2) sektor-sektor yang terdiskriminasi atau terabaikan oleh sistem; kaum perempuan, kaum muda, anak-anak, kelompok etnis minoritas, masyarakat adat atau kaum pribumi, agama tertentu, gay/lesbian (homoseksual), dan lain-lain.

RUDI HARTONO, Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), juga aktif mengelolah sejumlah media alternatif; Jurnal Arah Kiri dan Berdikari Online.


Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Drakula Penyebar Maut itu Bernama Neoliberalisme!"

Posting Komentar