BERDIKARI ONLINE, Jakarta : Pidato SBY mengenai nota keuangan 2010 tidak jauh berbeda dengan pidato-pidato sebelumnya, bahkan tidak berbeda sedikitpun dengan pidato kenegaraan pada tahun 2008, seperti yang dilangsir media online, inilah.com. Dalam pidatonya, presiden SBY kembali menebar janji dan sejumlah ambisi kosong, seperti program pro poor (baca, penghapusan kemiskinan), pro job (baca, penciptaan lapangan kerja), dan pro growth (baca, memacu pertumbuhan ekonomi).
Seperti diketahui, pidato nota keuangan SBY berlangsung dibawah bayang-bayang terbentuknya krisis ekonomi terburuk di dunia, setidaknya mempengaruhi dalam beberapa tahun kedepan, dan krisis politik berkepanjangan.
Selain itu, seperti biasa, presiden SBY begitu banyak memuji angka-angka fantantis, terutama di bidang ekonomi, sebagai angka pencapaian untuk menetapkan optimisme di masa depan. Padahal, angka-angka itu berkali-kali mendapat koreksi berbagai pihak, serta berbenturan dengan kenyataan objektif yang berlangsung di lapangan. Di bidang politik, pelaksanaan pilpres yang diwarnai kecurangan dan manipulasi, telah memberi basis awal bagi penjelasan bahwa pemerintahan paska pemilu adalah tidak legitimate.
Kegentingan Politik
Tidak bisa dipungkiri, Pemilihan presiden (Pilpres) 2009 lalu telah memelihara dan sekaligus memperdalam krisis politik di Indonesia. Pelaksanaan pemilu digugat di sana sini, dan banyak pihak yang melaporkan fakta-fakta kecurangan. Sementara itu, beberapa pihak memberi label "pemilu terburuk" untuk menegaskan kualitas pelaksanaan pemilu yang sangat buruk.
Di luar itu, pelaksanaan pilpres yang buruk ini telah menandai pertikaian jangka panjang antara SBY dan penentangnya. Tidak bisa tidak, cara SBY dalam menyelesaikan persaingan politik, tidak dapat diterima bukan saja oleh para pesaing politiknya, tapi juga lapisan luas masyarakat. Terakhir, kisruh pelaksanaan pilpres telah mendorong sejumlah lembaga negara (MK dan MA) dan KPU saling bertabrakan, sehingga semakin mengambrukkan bangunan politik kekuasaan klas kapitalis di Indonesia.
Bagi pesaing SBY, kecurangan pemilu merupakan manifestasi ketidakmampuan kubu SBY-Budiono memenangkan pilpres secara jujur. Artinya, kecurangan ini telah menghilangkan peluang mereka, tanpa menikmati sebuah bentuk kompetisi yang benar-benar sehat dan adil.
Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, terutama korban neoliberalisme, pemilu curang ini telah memaksakan mereka semakin bergeser ke tepi jurang kematian (baca; kemiskinan, pengangguran, dan PHK massal). Untuk itu, kemenangan SBY yang neoliberal, merupakan "lonceng kematian" bagi kesejahteraan 200 juta rakyat Indonesia.
Jadi, dalam beberapa tahun kedepan, SBY akan melanjutkan perseteruannya dengan kubu-kubu politik penentangnya, dan juga berhadapan dengan lapisan luas rakyat Indonesia.
Kegentingan Ekonomi
Dalam menyelesaikan persoalan ekonomi, yang merupakan persoalan paling krusial pada saat ini, SBY masih bersandar pada janji-janji perbaikan ekonomi, sogokan-sogokan khusus kepada sektor tertentu di masyarakat, serta menawarkan ekspektasi di masa depan.
Dalam pidato nota keuangannya, siang tadi (3/8), SBY menjanjikan pengurangan angka kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan anggaran sosial, dan sebagainya. Akan tetapi, pada tahun 2004, janji-janji seperti ini juga pernah dikobarkan, tapi hasilnya bukanlah kesejahteraan rakyat, melainkan keterpurukan ekonomi dan penderitaan rakyat yang tiada taranya.
Bagaimana tidak, ekonomi nasional seakan mengalami "terjun bebas" dalam beberapa tahun tahun terakhir. Di bidang industri, misalnya, pertumbuhannya terus menerus menurun setiap tahunnya, karena selain gempuran neoliberalisme, juga perilaku pemerintah yang mengabaikan sektor penting ini. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, memang terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Selain itu, pangsa sektor industri terhadap PDRB terus menurun secara sistematis dari 30,1% (2001) menjadi 28,1% (2005).
Lebih dari itu, berbagai produk lokal di pasar dalam negeri juga mengalami kemerosotan. Sebagai misal, menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penguasaan pasar domestik oleh produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional merosot dari 57% (2005) menjadi 23% (2008), dan diperkirakan 70% di antaranya masuk secara ilegal. Laporan lain menunjukkan, sekitar 70% pasar produk-produk usaha kecil dan menengah (UKM) di dalam negeri telah digusur oleh produk impor.
Di sisi lain, sebagai konsekuensinya, jumlah orang yang termasuk setengah pengangguran, yaitu orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, terus meningkat, dari 29 juta (2006) menjadi 31 juta (2007). Sementara itu, orang yang bekerja pada kegiatan informal terus naik dari kisaran 60% menuju 70%. (sumber, organisasi Pekerja Seluruh Indonesia).
Kegentingan ini, setidaknya, juga ditangkap oleh Asosiasi Pengusaha. Bambang Soesatyo, Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin, meragukan pemerintahan SBY dapat mengurai masalah pengangguran dan kemiskinan yang sampai saat ini masih menjadi benang kusut. Pasalnya, menurut dia, tiga motor utama pertumbuhan ekonomi, yakni investasi langsung, grafik ekspor, dan tinggat konsumsi (baca, permintaan efektif) di dalam negeri kian menurun.
Dapat dipastikan, tingkat konsumsi domestik semakin menurun, seiring dengan menurunnya daya beli rakyat dan gejala deflasi. Dalam beberapa bulan terakhir, khususnya di sela-sela pelaksanaan pemilu, tingkat konsumsi ditunjang oleh belanja pemilu, bukan oleh peningkatan pendapatan rakyat. Mengacu pada catatan Deperindag, tingkat konsumsi rumah tangga terus menurun tiap tahunnya. Pada tahun 2007, kontribusi konsumsi rumah tangga pada PDB masih mencapai 63,6%, kemudian menjadi 61% pada tahun 2008, dan akhirnya menjadi 57% pada tahun 2009 ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya soal bagaimana pemerintah merespon krisis ekonomi dunia, faktor kesejahteraan dan pendapatan pekerja-lah yang paling banyak dipangkas, berupa penundaan kenaikan upah, dan sebagainya.
Namun, kesulitan bukan hanya menimpa kaum buruh, tapi juga kaum tani, sektor miskin kota, dan sektor-sektor sosial lainnya.
Bertemunya Dua Kegentingan
Menjadi kekuatan mayoritas, baik di parlemen maupun di eksekutif, bukan merupakan jaminan bahwa SBY-Budiono akan relatif aman dari gejolak sosial, khususnya dalam beberapa tahun kedepan. Bukan tidak mungkin kekisruhan politik akan menemukan pembenarannya pada krisis ekonomi, yang telah mendorong sebagaian besar rakyat ke tepi jurang "kemiskinan".
Sebelumnya, di beberapa negara, krisis ekonomi berhasil memicu sebuah gelombang krisis politik, dan berhasil mengakhiri kekuasaan rejim-rejim neoliberal yang berkuasa di sana. Di Eropa, tiga pemerintahan neoliberal-Latvia, Moldova, dan Iceland-- berhasil dijatuhkan oleh gelombang protes yang dipicu oleh krisis ekonomi.
Di Indonesia, pengalaman kejatuhan rejim orde baru patut menjadi pelajaran penting bagi rejim neoliberal, SBY. Pada saat itu, tahun 1997, rakyat memperlihatkan kemuakan dengan perilaku orde baru mencurangi pemilu, di samping perilakunya berkali-kali memukul gerakan pro-demokrasi. Akhirnya, ketika krisis ekonomi 1997 menjalar, sebuah gelombang protes segera merobohkan rejim korup yang telah berusia 32 tahun ini.
Perlu diketahui, SBY-Budiono hanya menegaskan neoliberalisme yang lebih agressif, sebagai koreksi terhadap apa yang disebut neoliberalisme yang dihambat oleh kelompok kepentingan di masa lalu. Sehingga, dengan menempatkan banyak "administratur dan professional" pada pemerintahannya, rejim baru ini hanya akan menambah dan memperluas cakupan dan agressifitas kebijakan neoliberal di negeri ini. Sebagai hasilnya, sudah pasti, kebijakan ini akan menyerang kesejahteraan 200 juta lebih rakyat Indonesia.
Dan, untuk hal itu, rakyat sudah fasih menjawab; setiap rejim yang anti rakyat, harus disingkirkan!
RUDI HARTONO, Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), juga aktif mengelola media alternatif; Jurnal Arah Kiri dan Berdikari Online.
0 komentar: on "Kegentingan Politik dan Ekonomi"
Posting Komentar