Hadiri Beramai-Ramai

Selasa, 08 September 2009

Para Jago dan Politik

RUDI HARTONO

Beberapa daerah di Indonesia, seperti Jember, dikenal fenomena “bromocorah”. Sementara masyarakat Jawa menyebut mereka sebagai jago. Di daerah lain, seperti banten, disebut sebagai “jawara”, dan di daerah lain ada penyebutan seperti “weri” atau “blater”.


Di jaman kolonial, mereka banyak dipakai untuk kepentingan pemerintah, utamanya untuk menjaga tata tentram di masyarakat luas. mereka dipakai juga untuk mengawasi kerja rodi, menarik pajak, dan mengontrol jago lain, dan untuk keperluan-keperluan lainnya.

Dan, ketika Indonesia beranjak pada sistim politik modern, keberadaan mereka masih seringkali dipergunakan, terutama untuk fungsi-fungsi tertentu. Pada jaman orde baru, misalnya, mereka merupakan salah satu unsur dari tenaga kekerasan dan bagian dari mobilisasi politik. Dalam beberapa pemilu, misalnya, peran mereka yang menonjol di tengah masyarakat, dipergunakan oleh orba untuk memobilisasi masyarakat guna kepentingan pemerintah.

Sekarang ini, di era reformasi (baca, sistim politik liberal), kendati peran mereka sudah mulai berkurang, tapi perlu memahami sedikit bagaimana peran-peran mereka dialihkan dan ditransformasikan pada aktor baru; kaum professional.

Para Jago dan Politik Indonesia

Di negara-negara feudal, proses pembentukan sebuah kekuasaan politik membutuhkan penggunaan kekerasan, sebagai jalan menegakkan superioritas terhadap kelompok kekuasaan yang lain. Mereka menjadi unsur penting dalam sistim pemerintahan tradisional, terutama pada kekuasaan feudal.

Beberapa raja Jawa, misalnya, justru berasal dari kalangan para jagoan ini, seperti Ken Arok, Senapati, dan sebagainya. Di eropa, pada abab pertengahan, dimana penggunaan kekerasan masih mencolok, keberadaan para tentara dan ahli perang menjadi penting dalam proses pembentukan kekuasaan, sama halnya dengan para warlord di China.

Di bawah kekuasaan kolonial, yang tidak menghendaki kesejajaran politik maupun ekonomi antara penjajah dan rakyat jajahan, para jago menempel pada struktur politik yang dilembagakan oleh sistim kolonial, seperti ambtenar, residen, bupati, dan sebagainya. Mereka ini, menurut dokumen Belanda, disebut sebagai tusschenpersonen (perantara).

Ketika tanam paksa diberlakukan, sekitar 1830-1870-an, para jago difungsikan sebagai pemobilisasi tenaga kerja, menjaga kerja-paksa, serta tukang pukul. Tidak heran, misalnya, fungsi kepolisian professional pada abad 19 banyak dijalankan oleh para jago-jago ini.

Di jaman orde baru, sebagai upayanya menjaga penertiban sosial dan pencegahan terhadap kemunculan oposisi, maka orde baru juga banyak mempergunakan para jago untuk kepentingan politiknya. Hanya saja, pada saat orba, mereka didandani dengan seragam-seragam resmi, sehingga terkesan sebagai apparatus resmi yang sah atau legal. Dalam setiap pemilu, para jago yang diorganisasikan ini digunakan sebagai penyangga mobilisasi massa.

Dalam perjalanannya, para jago punya seteru, yaitu preman. Mereka, para preman, merupakan para jago yang tidak terorganisasikan, dan mereka banyak beraktifitas di jalanan. Dan, ketika itu, premanisme identik dengan rambut gondrong, tatto, tukang peras, dan sebagainya. Pada masa itu, orde baru pun tidak akur dengan pemuda atau mereka yang berambut gondrong, karena dianggap simbolisme ketidaktertiban, kericuhan, dan sebagainya. Dan akhirnya, operasi penertiban dan razia gondrong marak dilakukan. Para gondrong, seperti juga mantan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak diperkenankan mengurus dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Perseteruan orba menghadapi para jago berambut gondrong dan bertatto ini, akhirnya berakhir pada peristiwa penembakan misterius (petrus).

Pada saat revolusi, seperti yang dicatat Anton Lucas, ada pula jago dan bandit (baca, lenggaong) yang mengambil peran dalam revolusi sosial, seperti revolusi sosial yang dipimpin tokoh Kutil.

Untuk para jago yang dipergunakan pemerintah dan partai politik, mereka kemudian diorganisasikan dan diberikan seragam tertentu, untuk memberikan kesan formal dan resmi.

Sekarang Ini

Pada masa lalu, ketika para Jago ditempelkan pada kekuasaan, keberadaan mereka kebanyakan sebagai pengutip uang, dan, karena kebiasaan itu, mereka dikatakan sebagai parasit ekonomi. Secara ekonomi, mereka dikatakan sebagai sumber pembiayaan siluman, dan menciptakan ekonomi biaya tinggi.

Sekarang ini, di bawah neoliberalisme yang mengagungkan efisiensi, biaya siluman dipersamakan dengan korupsi, sebuah penyakit yang perlu diberantas. Dengan semakin banyaknya biaya siluman, maka semakin tinggi pula ongkos produksi yang harus dikeluarkan pengusaha. Berdasarkan data, biaya siluman justru memakan sekitar 11-15% dari biaya produksi.

Secara ekonomis, mereka kini dianggap sebagai parasit, yang mengganggu proses akumulasi capital secara produktif.

Di bidang politik, keberadaan mereka pun semakin memudar, seiring dengan semakin minimalnya penggunaan cara-cara kekerasan dalam kehidupan politik dan upaya menjaga kekuasaan. Sekarang ini, penggunaan demokrasi dan Hak Asasi manusia (HAM) lebih kedepankan, dibanding penggunaan kekerasan fisik (militer). Dalam memelihara kekuasaannya, rejim neoliberal lebih mengandalkan apparatus koersif yang resmi (militer, polisi, pengadilan), disamping penggunaan apparatus ideologi; media, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan sebagainya.

Sementara itu, karena hal tersebut, partai politik mulai melirik kaum intelektual, professional, dan bekas aktifis. Para jagoan yang relatif bertahan, kebanyakan adalah mereka yang sudah jebol menjadi politisi ulung, ataupun sudah mempunyai bisnis sendiri (baca, bertransformasi jadi pengusaha).

Saat ini, yang disebabkan transformasi politik dan ekonomi, peran-peran para jagoan banyak beralih kepada para administratur professional dan kaum intelektual.

RUDI HARTONO, Peneliti Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pengelola Berdikari Online, dan Jurnal Arah Kiri.

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Para Jago dan Politik"

Posting Komentar