Jhon Rivel Purba
Mahasiswa Ilmu Sejarah USU, Aktivis KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial)
PADA dasarnya tujuan pembangunan di negara ini adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Namun, harapan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Rakyat masih terombang-ambing di atas gelombang ketidakpastian. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kemelaratan, ketertindasan, dan penghisapan masih menjadi penjara yang memperihatinkan. Belum lagi bencana yang silih berganti semakin melengkapi penderitaan rakyat.
Becermin pada kenyataan, tentu ada yang salah dengan pembangunan sebelumnya. Sebab kenyataan sekarang adalah produk pembangunan masa lalu.
Tumbangnya orde lama dan tumbuhnya orde baru mengubah konsep dan arahan pembangunan. Orde lama mengutamakan kemandirian ekonomi yang ditandai dengan konsep ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dengan menasionalisasi aset-aset asing. Sementara, orde baru menggunakan konsep pembangunan yang dianjurkan oleh negara maju (AS dan Eropa).
Orde lama dan orde baru sama-sama belum mampu menyejahterakan rakyat. Bedanya, masa orde lama, aset-aset negara masih dimiliki oleh negara. Sedangkan masa orde baru, perlahan tapi pasti, aset negara berpindah tangan pada asing. Pemerintah orde baru taat pada kepentingan asing yang tercermin dalam kebijakan pembangunan nasional.
Kepentingan asing adalah menguras segala kekayaan negara dan memasarkan produk mereka ke negara ini. Selain itu, tenaga kerja yang mau (terpaksa) dengan upah rendah, semakin menggiurkan penggelembungan kekayaan asing. Untuk mencapai kepentingan itu, pemodal asing merayu (menjinakkan) penguasa negara dengan berbagai tawaran-tawaran yang pada intinya adalah keuntungan asing berlipat-lipat. Pemahaman visi yang dangkal, kepentingan jangka pendek, kepentingan pribadi maupun golongan, dan ketidakpahaman membangun telah menjadikan penguasa patuh pada asing.
Pembangunan memang berjalan berkat pinjaman utang dari asing. Jalan raya, jembatan, listrik, telekomunikasi dan gedung-gedung mewah dibangun seolah-olah negara ini tiba-tiba bermetamorfosis dari primitif menjadi modern. Itulah yang dibangga-banggakan pada masa orde baru sehingga Soeharto disebut sebagai bapak pembangunan. Padahal pembangunan fisik tersebut dominan adalah memuluskan usaha asing menguras kekayaan negeri.
Pemerintah kurang paham dalam membangun manusia Indonesia yaitu melalui pendidikan. Memang, pihak asing juga tak mau jika rakyat Indonesia cerdas karena menjadi tantangan bagi mereka melakukan eksploitasi. Lagipula, jika rakyat tetap bodoh, maka bisa dijadikan budak murahan.
Konsekuensi logis dari pembangunan masa orde baru yang mengeksploitasi sumber daya alam yaitu telah merampas hak generasi bangsa dengan tergadainya aset negara, kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi, ketergantungan pada kekuatan ekonomi asing, pengrusakan lingkungan hidup, serta mewariskan utang.
Kini setelah 11 tahun reformasi (orde terbaru), pembangunan bangsa tampaknya masih mengikuti pembangunan orde baru. Pembangunan yang mengembangbiakkan kekayaan pemodal asing. Pemerintah tetap taat pada agenda neoliberalisme yang ditandai dengan kebijakan-kebijakan yang berbau neoliberal seperti privatisasi aset-aset negara, pencabutan subsidi rakyat, dan penyerahan ekonomi pada pasar.
Rakyat miskin semakin tergusur mengatasnamakan pembangunan, orang miskin tak bisa sekolah karena tak ada subsidi pendidikan apalagi sejak dikeluarkannya UU BHP yang jelas-jelas melarang orang miskin mengecap pendidikan. Padahal seharusnya untuk membangun bangsa ini harus dimulai dari pendidikan. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang maju tanpa pendidikan.
Pembangunan Pendidikan
Tanpa pendidikan, bangsa ini tetap gelap. Supaya bangsa terang, dibutuhkan suluh bangsa yaitu pendidikan.
Sesuai dengan konstitusi, semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang membentuk pola pikir, moral, kemandirian, nasionalisme, kekritisan, dan mampu menjawab persoalan bangsa.
Pembangunan pendidikan diupayakan guna membebaskan rakyat dari penjara kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kesengsaraan dan ketertindasan rakyat. Upaya pembebasan itu bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan orang yang cerdas bermoral. Rakyat yang cerdas bermoral menjadi modal utama dalam membangun bangsa ini.
Untuk itu, tanpa kebijakan pemerintah yang benar-benar berdasar, maka negara ini tetap terombang-ambing atau berketergantungan. Bisa jadi, menjadi bangsa pengemis di negeri sendiri. Tentu, kita tak mau mewariskan ini semua pada anak cucu negeri. Sudah saatnya, negara ini bangkit membangun kembali manusianya melalui pembangunan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan.
Pembangunan pendidikan sejalan dengan penghematan anggaran negara, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mari kita bangun masa depan negara ini demi terwujudnya cita-cita bersama. Kita pasti (bisa) bangkit dari keterpurukan. Membangun pendidikan membangkitkan bangsa. (*)
0 komentar: on "Membangun Pendidikan Kita"
Posting Komentar